Follow Us Email Facebook Google LinkedIn Twitter

Muhammad Syafei & Pengembangan Budi Pekerti

Kamis, 01/10/2015 09:55:27

49muhammad-sjafei.jpg

Karena menikah dengan perempuan Belanda Dr. Abdul Rivai menjadi didera perasaan asing terhadap keluarganya, secara adat dan agama. Dia dianggap oleh banyak orang di Sumatera sebagai orang Indonesia pertama dalam masa modern yang berjuang untuk menghapuskan ketidak adilan pemerintah Belanda melalui majalah Bintang Hindia. Mendapat pendidikan Barat dan sebab itu terasing dari masyarakatnya sungguhpun orang-orang Minangkabau juga bangga atas prestasinya. Tentang pertikaian antara mereka yang berpendidikan Barat disatu pihak dengan golongan tradisi (adat dan agama) dipihak lainnya, dengan indah diceritakan novel Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan. Kanalisasi pertikaian gagasan tersebut tampak dengan apa yang kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan, dengan kata kunci: pilihan untuk menumbuhkan budi pekerti antara dua kutub Barat dan Timur.

Selalu berita untuk mengembangkan budi pekerti menjadi mantra, menguras, dan pada saat bersamaan memiliki daya ungkit diskursus: kepada siapa orang yang terlibat atau mengidentifikasi diri dengan pendidikan. Mengembangkan budi pekerti hampir menjadi perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib, membetot kesadaran bahwa ada yang salah dalam tata kelola pendidikan (dan pembelajaran), minimal usaha pemurnian elan pendidikan. Lebih kurang, suasana yang ingin dibangun, merujuk Robinson (1986:35) karena memang pendidikan diletakkan di atas aras historis, struktural, dan biografis yang memiliki daya gerak dan ubah – dialektis – maka kajian budi pekerti diletakkan pada aras tersebut. Semangatnya, seperti diungkap Dewey (2002) kajian diletakkan pada konteks demokrasi melalui internalisasi nilai-nilainya pada pendidikan dan dilakukan secara ilmiah.

Aras historis, struktural, dan biografis yang berkelindan dalam pendidikan dikatakan Muhammad Syafei sangat indah: “Alam terkembang jadi guru” (belajarlah dari alam dan pelajarilah alam itu), “Janganlah minta buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis! (setiap insan memiliki talenta berbeda), serta, “Jadilah engkau menjadi engkau!”. Sahabat Bung Hatta saat menempuh pendidikan di Belanda ini, lahir tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische Nederland School (INS) pada tanggal 31 Oktober 1926, di Kayutanam, sekitar 60 km di sebelah Utara Kota Padang.

Pergerakan di berbagai daerah menjadi salah penanda berdirinya INS Kayutanam. Penanda tersebut menjadi pengingat bahwa sejarah membawa ke masa lalu, tapi masa lalu yang akan mengajari tentang masa depan. Bahwa karakter lembaga pendidikan yang dibangun oleh Syafei terkait struktur masyarakat yang kental dengan pergerakan. Bulan-bulan di tahun 1926 saat pendirian INS Kayutanam, pergerakan nasional Indonesia masih mencari ragam dan media konsolidasi, selain ideologis tentu saja. Bulan dan tahun itu, PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Terjadi peristiwa tiga daerah di Jawa Tengah di mana seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana dan camat), dan sebagian besar kepala desa “didaulat” dan diganti oleh aparat pemerintahan baru, yang terdiri dari aliran-aliran islam, sosialis dan komunis. Tokoh E.F.E. Douwes Dekker tahun 1926 dibuang ke Banda dan sebelumnya dipenjarakan dua tahun di Bandung. Terjadi kongres pemuda pertama pada tanggal tahun 1926 sebagai cikal bakal kongres pemuda yang mengasilkan sumpah pemuda tahun 1928.

Minangkabau masa itu, struktur masyarakat yang menjadi koridor praksis pendidikan Syafei, seperti dikatakan dalam disertasi Noer (1980:38) dipenuhi gerakan pembaharuan melalui penyebaran pikiran-pikiran dari Mekah. Pelopor gerakan itu antara lain Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, dan Haji Abdullah Ahmad. Pembaharuan di bidang pendidikan dilakukan antara lain Sekolah Adabiyah di Padang, Surau Jembatan Besi melalui Sekolah Thawalib, Diniyah, dan Al-Madrasah al-Diniyah. Dikeluarkannya goeroe ordonnantie tahun 1925 ikut memberikan sumbangan tumbuhnya pembaharuan pendidikan, sebab peraturan tersebut bersifat lunak, hanya memberitahukan tertulis tentang tujuan pemberian pelajaran agama, tetapi daftar dan rincian kurikulum harus diajukan menurut formulir standar (Ricklefs,2008:383).

Berkembang pada waktu itu kekhawatiran dari banyak kalangan bahwa pengaruh ulama dan pengaruh pemikiran islam akan lenyap dari generasi muda dengan adanya sekolah-sekolah pemerintah (Belanda). Ada kesadaran bahwa sekolah-sekolah ini hanya akan memajukan budaya dan agama penjajah (Belanda) saja, seperti yang diperlihatkan Dr. Abdul Rivai dari Minangkabau di atas, merupakan contoh rasa kecewa masyarakat yang dalam.
Pendidikan yang ditempuh Muhammad Syafei mula-mula yaitu Sekolah Raja di Bukit Tinggi. Sekolah Raja di konstruksi oleh Penulis Siti Nurbaya Marah Rusli dengan sangat bagus dalam novel Memang Jodoh (2015). Secara fisik, dilukiskan Sekolah Raja, sebuah gedung batu yang bagus dan elok, beserta sekolah latihannya yang dinamakan “Sekolah Privat” dan berapa gedung yang beratapkan ijuk, untuk guru-gurunya. Kemudian setelah dari Sekolah Raja, Syafei menuntut ilmu di negeri Belanda dengan biaya sendiri. Di sini ia bergabung dengan "Perhimpunan Indonesia", sebagai ketua seksi pendidikan.

Disela-sela menyelesaikan pendidikannya, Syafei menyempatkan diri juga untuk belajar menggambar. Tahun 1916 menempuh ujian mengikuti ujian untuk menjadi guru gambar pada sekolah lanjutan tingkat pertama dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Syafei merupakan anak Indonesia yang pertama yang mendapatkan ijazah tersebut, dan bahkan saat menyerahkan hasil ujian, juru bicara penguji berkata: ”Hasil pekerjaan ini sangat baik, seandainya tuan adalah orang Belanda tuan akan mendapatkan nilai 9 atau 10 tetapi karena tuan bangsa pribumi kami berikan nilai 8 untuk tuan”.
Tahun-tahun pendidikan yang dinikmati Syafei, saat itu pemikiran-pemikiran yang sedang berkembang untuk membentuk dunia modern berada pada reaksi-reaksi menggugat idealisme (Fichte, Schelling, dan Hegel). Masa itu pemikiran ilmu dihadapkan, oleh Hardiman (2015:185) dikatakan memiliki tiga reaksi yang mewarnai untuk menghadang idealisme. Reaksi pertama yang masih berada dalam jalur idealisme, cenderung kembali ke dalam filsafat Kant tentang “das Ding an sich”, lalu masuk dalam idealisme dengan cara lain, ini berasal dari Schopenhauer. Reaksi kedua yaitu usaha mentransformasikan idealisme menjadi materialisme, ini berasal dari kaum Hegelian Sayap Kiri, yaitu Feuerbach dan Mark. Reaksi yang terakhir yaitu sebuah usaha berani untuk menumbangkan sistem abstrak Hegel, dan reaksi ini berasal dari seorang filsuf Denmark, Kierkegaard.

Kajian mengenai ilmu pendidikan saat itu sedang mekar-mekarnya pandangan progresivisme ke arah pragmatisme, yang percaya bahwa tujuan jangka panjang pendidikan yaitu untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar anak didik sebagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Pandangan progresivisme dan pragmatisme sering diidentifikasikan sebagai aliran liberalisme pendidikan. O’neil (2002:109) menyatakan liberalisme pendidikan ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya, dari yang relatif lunak, yaitu liberalisme metodis yang diajukan oleh teoritisi seperti Maria Montessori, ke liberalisme direktif (liberalisme yang bersifat mengarahkan) yang barangkali paling sarat dengan muatan filosofi John Dewey hingga ke liberalisme nondirektif, atau liberalisme faire (liberalisme tanpa pengarahan) yang merupakan sudut pandang A.S. Neill atau Carl Rogers.

Situasi historis, struktural, dan biografis seperti di atas Muhammad Syafei menjalani hari-hari mengkaji ilmu dan bergulat dengan alam pikirannya sendiri. Pada saatnya nanti, pemikiran dan praksis pendidikannya masih sangat sesuai dengan kondisi kekiniaan Indonesia. Masa pergerakan yang menjadi semangat zaman Syafei tidak kehilangan momentum pada saat ini, pemikiran mengenai penumpuhan budi pekerti anak didik hampir selalu menjadi cita-cita dan pemantik diskursus pendidikan. Kertas kerja ini berusaha memposisikan Syafei sebagai salah satu tonggak yang menancap kuat dan dalam pada alam pikir pendidikan Indonesia – pengusung kredo manusia merdeka berpikir dan menolak manusia priyayi elit – memberikan pandu bagaimana anak didik memperoleh pengetahuan bermanfaat. Anak didik yang berdiri dengan kepala tegak dengan inovasi dan kreativitas – otak, tangan, dan hati (jiwa) yang sepenuh-penuhnya berkembang – bukan manusia priyayi elit yang sebenarnya hanya menghamba ke tuannya saja, tidak merdeka.
 
MENJADI MANUSIA MERDEKA BERPIKIR
Pembentukan karakter dan budi pekerti menjadi prioritas kebijakan pendidikan yang ingin dikembangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Namun, kebijakan ini seperti diungkapkan Koesoema (2015:7) hanya efektif apabila pengembangan budi pekerti – meminjam istilah Blaise Pascal – menyentuh rasionalitas hati. Bahwa hati memiliki akalnya sendiri, di mana akal tidak mengenalnya. Sejalan dengan ide itu, Syafei menentang intelektualisme yang hanya mementingkan pembentukan akal saja. Manusia sebagai kesatuan jiwa raga, juga sebagai kesatuan individu dan anggota masyarakat hendaknya diperhatikan perkembangannya. Jadi bukan hanya akalnya saja. Maka pendidikan harus ditujukan untuk mencapai kepribadian yang selaras (Djumhur dan Danasuparta, 1985:188).

Rasionalitas an sich dalam pengembangan kepribadian budi pekerti akan menjadikan anak didik menjadi tuna hati, pandai akal tetapi jongkok mata hati. Akal yang tidak diasah rasionalitas hatinya akan menjadi pribadi tidak utuh perkembangannya, pincang dan perlu diluruskan. Arus bolak balik dalam berfikir manusia, antara rasionalitas dan hati, akan menampilkan hasil dengan sisi-sisi kemanusiaan lebih baik. Manusia dengan nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai dalam tindak tanduknya. Nilai-nilai diangkat tinggi-tinggi, karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, dan kemuliaan. Muaranya, dapat diyakini dan dijadikan panduan hidup.

Untuk menjadi panduan hidup, Syafei (dalam Mudyahardjo, 2012:340) pendidikan perlu mengutamakan bahwa berfikir (berkerjanya akal) berintikan pengalaman. Dalam pembelajaran di bilik-bilik kelas sekolah, sering terjadi kegagalan kata-kata sebagai sarana pelatihan akal karena gagalnya kata-kata membangkitkan otak dan perasaaan anak didik. Lain halnya dengan pengalaman melalui perbuatan, ia lebih kaya dan mendalam ketimbang pengalaman yang diperoleh melalui kata-kata.

Sebenarnya bidikan pembelajaran seperti diungkap di atas yaitu dengan perbuatan, tidak hanya tangan yang di latih, tetapi organ indera, otak, dan emosi. Melalui itu rasionalitas hati dapat menjadikan menusia berfikir merdeka untuk terus menjadikan kehidupannya bermakna, secara individual, sosial, susila, dan spiritual. Merdeka adalah tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa. Merdeka berfikir berarti menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu dengan tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Manusia merdeka berfikir adalah kemampuan untuk secara kritis dan obyektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah dengan tetap menjadikan rasionalitas hati sebagai bantul penyeimbang. Pandangan itu dipertegas John Dewey yang kemudian dijadikan landasan Syafei saat mendirikan INS Kayutanam, sekolah haruslah bersifat obyektif (rasional-ilmiah), namun tidak sentral. Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya hanya untuk mengajarkan pada anak didik bagaimanakah cara berfikir yang efektif (secara rasional dan ilmiah), melainkan juga untuk membantu anak didik mengenai kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan, yang tersedia sehubungan dengan berbagai problema manusia yang terpenting (O’neil, 2002:110).

Kondisi tidak jauh berbeda diungkap Freire (2015: 64) bahwa situasi merdeka berfikir sebagai conscientizacao (kesadaran) kritis, tangga tertinggi setelah magis dan naif. Conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya: proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase: kesadaran magis, naif, dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek berdasarkan tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut: Apa masalah-maslah paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian? (PENAMAAN); Apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? (BERFIKIR); dan Apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? (AKSI). Sementara itu, untuk mengatasi situasi penindasan, manusia pertama kali harus mengenali secara kritis penyebabnya, kemudian melakukan tindakan perubahan di mana mereka dapat menciptakan situasi yang baru yaitu situasi yang yang memungkinkan terciptanya manusia yang lebih utuh. Untuk mencapai itu, maka dibutuhkan perantara, yaitu dialog.

Kebebasan berfikir dipantik pemikir-pemikir sebelumnya di abad sembilan belas, tokoh-tokoh seperti Petrarkha, Erasmus, Rabelais, Thomas More, dan Carvende mendorong gerakan humanisme, ditandai keyakinan akan kemampuan manusia (sebagai ganti kemampuan adikodrati), hasrat, intelektual, dan penghargaan akan disiplin intelektual. Hardiman (2015:13) menyebutkan bahwa tokoh-tokoh seperti Machiavelli, Bruno, dan Bacon merupakan pendobrak awal pemikiran tradisional, menjebol legitimasi kekuasaan tradisional, menggoyang kemapanan ajaran-ajaran religius, dan membongkar prasangka-prasangka dalam alam pikir tradisional.

Dalam hal merdeka berfikir, Syafei meyakinkan, seperti juga halnya John Dewey, bahwa rekonstruksi pengalaman dalam pendidikan harus diarahkan untuk mencapai efisiensi sosial, dengan demikian pendidikan harus merupakan suatu proses sosial. Tugas utama pendidikan menurut Kerschenteiner (Mudyaharjo, 2012:318) adalah pengembangan warga negara yang baik, dan sekolah aktivitasnya berusaha mendidik warga negara yang berguna, dengan jalan: (1) membimbing anak untuk bekerja menghidupi dirinya sendirinya; (2) menanamkan dalam dirinya gagasan bahwa setiap pekerjaan mempunyai tempatnya masing-masing dalam memberi pelayanan kepada masyarakat; dan (3) mengajarkan kepada anak bahwa melalui pekerjaannya, ia akan memberikan sumbangan dalam turut serta membantu masyarakat untuk ke arah suatu kehidupan bersama yang lebih sempurna.

Proses sosial sebagai conditio sine qua non untuk pembentukan manusia merdeka berfikir paling tidak mencakup dua faktor. Kontak sosial yang kuat antara individu satu dengan individu lain (bisa pendidik dan atau anak didik) dalam pembelajaran yang digunakan sebagai media untuk mengenalkan realitas individu anak didik dan realitas sosialnya, ini faktor utama. Faktor kedua yaitu komunikasi, yaitu proses transformasi pengetahuan dari pendidik kepada anak didik untuk bersama-sama menamai dan memaknai dunia melalui proses dialog. Melalui keduanya, rasionalitas hati, manusia berfikir merdeka bukan sebuah angan-angan. Dalam larik-larik kalimat penuh semangat pergerakan, Syafei (Mudyahardjo, 2012:315) menyatakan bahwa cita-cita pendidikan merupakan upaya menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya dengan alat daya upaya yang dianamakan aktif kreatif untuk hidup dengan alam.

Pengembangan budi pekerti pada waktu ini, tentu saja berbeda sekali dengan waktu Syafei masih ada, kertas kerja ini menjadikan berusaha menjadikan gagasan pendidikan pada waktu itu yang dikontekstualisasikan dengan semangat waktu sekarang. Bahwa kajian mengenai Syafei menjadi titik-titik penghubung antarwaktu dalam satu rumpun yang diikat dalam teori pendidikan. Waktu sekarang, seperti diungkap oleh Semiawan (2015:7) lonceng kematian teori pendidikan berada di depan mata, bahwa teori pendiidkan modern adalah dipersoalkannya interpretasi dari orientasi intrinsik di perbatasan efek dari modernisasi dalam perkembangan sosial masyarakat. Ilmu pendidikan yang mekar di dunia sekarang yaitu neuro-education. Bahwa manusia dilahirkan tidak untuk bertahan hidup saja, tetapi juga dilahirkan dengan otak yang berubah, berkembang, dan belajar. Sehingga pembelajaran harus memberikan kemungkinan anak didik untuk menggapai kemampuan yang tidak terhingga yang muncul dari temuan-temuannya.
Perspektif pendidikan, waktu ini, merupakan kajian sainstifik berakar kepada filsafat, antropologi, psikologi, dan sosiologi. Gagal paham ilmu pendidikan diungkap Semiawan (2011:7) terjadi pada saat pelaksanaan perkuliahan yang membicarakan pendidikan, bukan ilmu pendidikan dan mengacu pada tokoh seperti Socrates, Rousseau, dan tokoh lainnya. Masih ada juga yang berbicara tentang Langeveld yang teori dalam ilmu pendidikan sudah kadaluwarsa.

Cara-cara yang digunakan Syafei mirip dengan perkembangan teori pendidikan saat ini, praktik pendidikan yang diterapkan dalam pembelajaran untuk mengoptimalkan kemampuan anak didik. Untuk melakukan pengembangan budi pekerti, manusia merdeka berpikir, Syafei merumuskan kurikulum INS Kayutanam ke dalam tiga bidang pengajaran, yaitu akademik (otak), kreatifitas (tangan) dan akhlak mulia (hati). Bidang akademis, anak didik dibekali pengetahuan umum layaknya sekolah biasa, meski lebih ditekankan pada penguasaan materi dan aplikasi di lapangan. Sementara itu, bidang kreatifitas dibagi lagi menjadi beberapa subbidang ketrampilan seperti pertukangan, keramik, kriya, seni ukir, seni lukis, sanggar musik, teater, sastra, dan beberapa ketrampilan lainnya. Sedangkan hal-hal yang menyangkut kecerdasan spiritual, diramu dan diaplikasikan dalam bidang akhlak mulia. Ketiga bidang ini tak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketiganya harus saling mengisi dan saling menopang dalam wacana menciptakan inteletual yang berakhlak mulia, berintegritas dan beretos kerja keras.

Pengembangan budi pekerti, manusia berfikir merdeka, tidak boleh melupakan dua hal pokok dalam kurikulumnya. Syafei (Mudyahardjo, 2012:317) menegaskan kurikulum musti difungsikan untuk: (1) pengembangan daya khayal, logika, kerja/praktis, dan tabiat/karakter; dan (2) pengembangan pengertian konkrit atau konsep. Fungsi pertama dapat diturunkan melalui pelajaran penggunaan bahasa ibu secara merdeka, mengarang secara merdeka, bermain secara merdeka, berkebun secara merdeka, membentuk bahan tanah liat [sic!] secara merdeka, menggunting secara merdeka, dan bermain drama secara merdeka. Fungsi kedua dapat diturunkan melalui pelajaran membuat peraga atau peragaan antara lain: bersandiwara, berkebun, pekerjaan tangan dengan tanah liat, kertas, rotan, bambu, daun kelapa dan lain-lain untuk kepentingan ilmu bumi, sejarah, dan ilmu pengetahuan alam.
 
MANUSIA PRIYAYI ELIT: SEJUMPUT SEJARAH USANG
Mental priyayi elit berkembang sejak jaman penjajahan, terutama di daerah-daerah dengan sistem pemerintah jajahan yang sudah bersifat langsung dan mantap. Perkembangan sistem pendidikan pada masa Hindia Belanda tidak dapat dipisahkan dari politik etis. Ini berarti bahwa perubahan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh keadaan yang terjadi di Belanda. Tekanan datang dari Partai Sosial Demokrat yang di dalamnya ada van Deventer. Tahun 1899, Mr. Courad Theodore van Deventer melancarkan kritikan-kritikan yang tajam terhadap pemerintah penjajahan Belanda. Kritikan itu ditulis dan dimuat dalam jurnal Belanda, de Gids dengan judul Een eereschuld yang berarti hutang budi atau hutang kehormatan. Tulisan tersebut dijelaskan bahwa kekosongan kas negeri Belanda telah dapat diisi kembali berkat pengorbanan orang-orang Indonesia. Oleh karena itu, Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Untuk itu harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui gagasannya yang dikenal dengan Trilogi van Deventer.

Segera setelah itu, sekolah diadakan untuk anak Indonesia yang sebenarnya kepentiangannya untuk mereka sendiri. Segregasi segera terjadi antara sekolah untuk anak Belanda dan Indonesia, di dalamnya masih terdapat jurang karena anak-anak para pejabat pribumi (pangreh praja) dapat menikmati bangku sekolah sementara rakyat kebanyakan tidak. Cikal bakal terbentuknya mental priyayi elit ini dimulai dari stratifikasi sosial yang dibuat oleh Belanda, salah satunya untuk memperoleh pendidikan. Siapa yang melayani dan mengabdi kepada Belanda (tuannya), maka anak-anaknya mendapatkan pendidikan, begitu seterusnya anak-anaknya diajarkan untuk melayani dengan baik tuannya. Di dalam praktik pendidikannya, Nasution (2011:19) menyebutkan telah menimbulkan elite intelektual baru, banyak menjadi asing terhadap kebudayaan tradisional, ini lah yang sebagian besar memiliki mental priyayi elit.

Selanjutnya, karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka transformasi nalar priyayi elit tentu saja melaluinya, pembelajaran dalam sistem persekolahan memberikan dampak terhadap nilai-nilai yang sebenarnya tidak diharapkan. Tetapi karena seorang pendidik yang notabene anggota kebudayaan tertentu, maka internalisasi nilai pada anak didik dalam pembelajaran dimaklumkan terjadi. Subroto (2011) menyatakan bahwa keberadaan pendidik berpengaruh terhadap kualitas pendidikan, termasuk anak didik. Widoyoko dan Rinawati (2012) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kinerja pendidik terhadap motivasi belajar anak didik. Secara berurutan kinerja pendidik yaitu: penguasaan materi pembelajaran (0,758), kemampuan mengelola pembelajaran (0,683), penguasaan strategi pembelajaran (0,271), dan penguasaan penilaian hasil belajar anak didik (0,216).
Anehnya, mental priyayi elit ini terus turun menurun sampai orde pembangunan yang terus langgeng dalam praktik pendidikan. Pembangunan memang tidak sekedar hanya menjadi self-projected reality yang kemudian menjadi acuan pembangunan, tetapi pembangunan juga seringkali menjadi semacam ideology of developmentalism. Faqih (2001:10) menyatakan, bahwa kata ‘pembangunan’ adalah sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu paham, bahkan merupakan suatu ideologi dan teori tentang perubahan sosial. Pandangan ini menilai konsep pembangunan sendiri bukanlah kata yang bersifat netral, melainkan suatu ‘aliran’ dan keyakinan ideologis dan teoritis serta praktek mengenai perubahan sosial. Dengan demikian, dalam pengertian ini pembangunan tidak diartikan sebagai kata benda belaka, tetapi sebagai aliran dari suatu teori perubahan sosial.

Pendidikan tunduk dengan pembangunan, bahkan diletakkan semata-mata sebagai agen politik kekuasaan, dimobilisasi untuk dijadikan alat dorong kendaraan politik. Pendidikan sebagai proses pembudayaan kodrat alam setiap individu dengan kemampuan-kemampuan bawaan untuk dapat mempertahankan hidup, yang tertuju pada pencapaian kemerdekaan lahir dan batin, sehingga memperoleh keselamatan lahir dan batin, sehingga memperoleh keselamatan dalam hidup lahiriah dan kebahagiaan dalam hidup batiniah kurang menjadi keyakinan pelaku pendidikan di Indonesia. Catatan tebal Budiningsih (2004) menyebutkan pendidikanlah yang sesungguhnya memberikan kontribusi yang paling besar terhadap situasi buruknya budi pekerti anak didik.

Mental priyayi elit ini diterus-teruskan oleh pendidikan dengan sistem persekolahannya, sudah saatnya dipotong mata rantainya. Mental ini menganggap bahwa hidup itu pada dasarnya buruk, karena itu harus diingkari. Mengganggap karya manusia hakikatnya untuk mencapai kedudukan. Setiap tindakan manusia diarahkan dan diorientasikan pada kelakuan pemimpin, atasan, maupun senior. Proses pengingkaran pandangan bahwa pada dasarnya hidup buruk membuat priyayi elit menjadi pribadi yang menghalalkan segara cara untuk tercapainya tujuan. Pribadi yang tidak peduli dengan situasi sekeliling, semua sumber daya kalau bisa diarahkan dan disedot untuk melayani kepentingannya, tidak ada timbal balik. Karena mental priyayi elit ini muncul karena ketertindasan di masa penjajahan, pada saatnya mencapai kedudukan baik maka prilaku menindasnya dilakukan kepada yang lemah. Untuk memperoleh kedudukan, mental priyayi elit ini mengarahan kepada tuannya: pemimpin, atasan, maupun senior. Tidak ada kemerdekaan berfikir pada mental priyayi elit ini, semua dibungkam tuannya. Freire (2015:23) meletakkan manusia jenis ini pada posisi paling rendah, kesadaran magis dan naif.

Untuk menghadang dan memotong mata rantai mental priyayi elit di dalam pendidikan dan sistem persekolah, maka diperlukan kebersamaan dengan unsur kesamaan di dalam masyarakat. Menurut Durkheim (1961), tanpa adanya unsur kesamaan, kerja sama, solidaritas sosial, dan kehidupan sosial tidaklah mungkin ada. Tugas utama masyarakat adalah mewujudkan individu menjadi satu kesatuan – dengan kata lain menciptakan solidaritas sosial. Pendidikan menghubungkan antarindividu dan masyarakat, bila sejarah masyarakat mereka diberikan secara penuh kepada anak-anak, mereka akan datang untuk melihat bahwa mereka menjadi bagian dari sesuatu yang lebuh besar dari diri mereka sendiri, mereka akan mengembangkan komitmen dalam kelompok sosial.
 
PENUTUP
Mohammad Syafei sebagai salah satu tonggak yang menancap kuat dan dalam pada alam pikir pendidikan Indonesia – pengusung kredo manusia merdeka berpikir dan menolak manusia priyayi elit – memberikan pandu bagaimana anak didik memperoleh pengetahuan bermanfaat. Salah satu organ pergerakan yang menganggap modal sosial tersebut penting yaitu Indonesische Nederlandsche School (INS) Kayutanam, didirikan Mohammad Syafei sebagai reaksi terhadap sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial.

Untuk menjadikan pengembangan budi pekerti, menjadi manusia merdeka berfikir, pada saat ini, belajar kepada semangat jaman Syafei, dibutuhkan kajian lebih dalam terkait aspek filsafat, antropologi, psikologi, dan sosiologi. Secara filsafat perlu ada jawaban terkait dengan rekonstruksi pengalaman dalam pendidikan harus diarahkan untuk mencapai efisiensi sosial, dengan demikian pendidikan harus merupakan suatu proses sosial. Secara asntropologi perlu di tegaskan kembali posisi sekolah yang memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya hanya untuk mengajarkan pada anak didik bagaimanakah cara berfikir yang efektif (secara rasional dan ilmiah), melainkan juga untuk membantu anak didik mengenai kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan, yang tersedia sehubungan dengan berbagai problema manusia yang terpenting. Aspek psikologi perlu dikaji kembali akal yang tidak diasah rasionalitas hati menjadi pribadi tidak utuh perkembangannya, pincang dan perlu perbaikan. Secara sosiologis perlu ditafsir ulang terkait proses sosial sebagai conditio sine qua non untuk pembentukan manusia merdeka berfikir paling yaitu kontak sosial dan komunikasi.

Sampai hari ini mental priyayi elit ini diterus-teruskan oleh pendidikan dengan sistem persekolahannya, sudah saatnya dipotong mata rantainya. Mental ini menganggap bahwa hidup itu pada dasarnya buruk, karena itu harus diingkari. Mengganggap karya manusia hakikatnya untuk mencapai kedudukan. Setiap tindakan manusia diarahkan dan diorientasikan pada kelakuan pemimpin, atasan, maupun senior. Untuk menghadang dan memotong mata rantai mental priyayi elit di dalam pendidikan dan sistem persekolah, maka diperlukan kebersamaan dengan unsur kesamaan di dalam masyarakat.
 
DAFTAR RUJUKAN
 
Budiningsih, A. 2004. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta.
Djumhur dan Danasuparta.1986. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu
Durkheim, E. 1961. Moral Education: A Study In The Theory and Application Of The Sociology Of Education. Ney York: The Free Press.
Fakih, M. 2001 Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist.
Freire, P. 2015. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES
Hardiman, F.B. 2015. Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli Sampai Nietzsche). Jakarta: Erlangga.
Koesoema, D. 2015. Pendidikan Hati. Kompas, 11 September 2015.
Mudyahardjo, R. 2012. Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pada Umumnya Dan Pendidikan Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Nasution, S. 2011. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Noer, D/ 1980. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta: LP3ES.
O’neil, W.F. 2002. Ideologi –Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Jakarta: Serambi.
Rusli, M. 2015. Memang Jodoh. Bandung:Qanita Mizan.
Semiawan, C.R. 2015. Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan. Kompas, 15 September 2015.
Semiawan, C.R. 2015. Neuro Education Orentasi Baru Dalam Ilmu Pendidikan. Kompas, 12 Februari 2011.
Subroto,W.T. 2011. Analisis Pengaruh Pemberdayaan Pendidik Terhadap Kinerjanya dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Sekolah Dasar Kota Surabaya. Dalam Kamil dan Baehaqi (Eds.), Proceeding Temu Ilmiah dan Seminar Ilmiah Grand Desain Program Pendidkan Profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Bandung: UPI.
Widoyoko, S.E.P dan Rinawati, A. 2012. Pengaruh Kinerja Guru terhadap Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Cakrawala Pendidikan, XXXI (2):278-289.

Posting oleh Teguh Triwiyanto 9 tahun yang lalu - Dibaca 155636 kali

 
Tag : #MUHAMMAD SYAFEI # INS KAYUTANAM # BUDI PEKERTI

Berikan Komentar Anda

Artikel Pilihan
Bacaan Lainnya
Selasa, 04/08/2020 09:12:57
New Normal Sekolah, Antara Sif Belajar dan Modifikasi Materi

Kehidupan new normal di sekolah dan kampus dinilai mesti diatur secara rinci dengan melibatkan sumber daya yang tak...

Selasa, 28/07/2020 08:31:58
Kemendikbud: Belajar dari Rumah Tidak Harus Terbebani Target Kurikulum

Kegiatan belajar dari rumah (BDR) bukan perkara yang mudah, termasuk bagi orangtua. Alhasil, tidak sedikit orangtua...

7 Pilar MBS
MBS portal
7 Pilar MBS SD
Pilar 1 | Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran Berbasis Sekolah a. Konsep Dasar Manajemen kurikulum dan pembelajaran berbasis sekolah adalah pengaturan kurikulum dan pembelajaran yang meliputi kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran...
Informasi Terbaru
Penelitian
Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah, Kemampuan Mengajar Guru dan Inovasi Pendidikan pada SMA Negeri se-Malang Raya
Raden Bambang Sumarsono rbamsum@gmail.com Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang Nomor 5 Malang 65145   Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan perilaku kepemimpinan kepala sekolah di SMA Negeri Se-Malang Raya, 2) mendeskripsikan kemampuan mengajar guru SMA Negeri...
Modul dan Pedoman
Video MBS
Modul MBS
Better Teaching Learning 3 TOT Provinsi...
11 tahun yang lalu - dibaca 75875 kali
TIK sebagai Kecakapan Hidup
TIK sebagai Kecakapan Hidup
11 tahun yang lalu - dibaca 72734 kali
Lembar Presentasi Fasilitator
11 tahun yang lalu - dibaca 88825 kali
Modul Pelatihan Pengawas Sekolah
Modul Pelatihan Pengawas Sekolah
11 tahun yang lalu - dibaca 98051 kali
Info MBS
Membuat Program Kerja Sekolah Yang Baik
Membuat Program Kerja Sekolah Yang Baik
9 tahun yang lalu - dibaca 109316 kali
Tujuh Pilar Manajemen Berbasis Sekolah
Tujuh Pilar Manajemen Berbasis Sekolah
9 tahun yang lalu - dibaca 119976 kali
USAID Prioritas Latih 8 Kepsek di Parepare Manajemen Berbasis Sekolah
USAID Prioritas Latih 8 Kepsek di...
9 tahun yang lalu - dibaca 79111 kali
Kurikulum 2013: Siswa Kelas 1 SD Lebih Ceria dan Tak Rewel
Kurikulum 2013: Siswa Kelas 1 SD Lebih...
11 tahun yang lalu - dibaca 75406 kali
Wawancara dengan Mendikbud Terkait Kurikulum 2013
Wawancara dengan Mendikbud Terkait...
11 tahun yang lalu - dibaca 113277 kali
Pelatihan Yang Diakreditasi Oleh Perguruan Tinggi
Pelatihan Yang Diakreditasi Oleh...
11 tahun yang lalu - dibaca 90552 kali
Interactive Audio Instruction Kindergarten Program
Interactive Audio Instruction...
11 tahun yang lalu - dibaca 94211 kali
Pusat Sumber Belajar Gugus
Pusat Sumber Belajar Gugus
11 tahun yang lalu - dibaca 114745 kali
Follow Us :
Get it on Google Play

©2013-2024 Manajemen Berbasis Sekolah
MUsage: 3.47 Mb - Loading : 6.83176 seconds