Landasan Implementasi MBS dan Peran Organisasi Profesi dalam Mengembangkan MBS
Oleh: H. Syaiful Sagala
Abstrak
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah pengelolaan dan pemberdayaan sumber daya sekolah yang dilakukan secara mandiri, partisipatif, transparan dan akuntabel oleh sekolah. Pengelolaan ini dilakukan dengan memberdayakan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dalam pengambilan keputusan, untuk mencapai tujuan secara efektif dan peningkatan mutu sekolah yang kompetitif. Prinsipnya, layanan pada sekolah yang mengimplementasikan MBS secara teoritik dapat menghasilkan tamatan sekolah yang berkualitas dan memecahkan masalah dalam hidupnya, keluarganya, dan masyarakatnya. Sekolah yang mengimplementasikan MBS akan mampu meningkatkan kualitas akuntabilitas manajemen, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. Dengan kepercayaan yang tinggi akan mendorong partisipasi dan dukungan masyarakat yang tinggi, sehingga menjadikan sekolah lebih baik, berkualitas dan lebih terpercaya.
Kata kunci: manajemen berbasis sekolah, pemberdayaan, berkualitas
PENDAHULUAN
Desentralisasi pemerintahan di Indonesia dimulai sejak UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan sejumlah kewenangan kepada pemerihtah daerah. Kemudian diperbaharui menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 13 huruf f penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial urusan wajib menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi. Kemudian Pasal 14 huruf f urusan pendidikan adalah urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. UU ini menegaskan bahwa urusan pendidikan diserahkan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sesuai kewenangan yang diatur oleh undang undang. Atas dasar UU No. 22 Tahun 1999 maka diterbitkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UUSPN) pengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. UUSPN Pasal 51 ayat (1) pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengahdilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Setelah lebih kurang 15 tahun implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Indonesia, maka pada tanggal 14-18 Oktober 2012 Hotel Purnama Batu Jawa Timur telah dilaksanakan seminar program manajemen berbasis sekolah dengan tema: Pelaksanaan MBS yang terkoordinasi, berkelanjutan, dan merata dalam rangka meningkatkan layanan pendidikan yang lebih baik di sekolah dasar. Seminar ini dilaksanakan oleh: Direktorat pembinaan sekolah dasar Ditjen Pendidikan Dasar Kemendikbud. Seminar yang membahas MBS tentu telah banyak dilaksanakan oleh berbagai elemen masyarakat maupun berbagai daerah. Seminar ini mencatat bahwa kualitas kinerja manajemen sekolah menjadi indikator penentu kualitas sekolah.
Setelah menganalisis berbagai data dan informasi, seminar tersebut mencatat beberapa hambatan implementasi MBS antara lain (1) implementasi otonomi daerah belum menghasilkan kemajuan pendidikan signifikan. Implemntasi MBS tidak difasilitasi dengan benar oleh Pemerintah Daerah, dan sentuhan birokrasi terhadap sekolah masih lebih tinggi; (2) masyarakat Indonesia memiliki ciri unik, yakni senang dengan hal-hal baru yang tampak mengesankan tetapi hanya bersifat konsumtif, senang dengan semua yang serba instan namun mudah melupakannya, tanpa mengingat kualitasnya; (3) otonomi yang diberikan kepada sekolah tidak diiringi dengan pemberian otoritas yang memadai dan pengawasan implementasi MBS belum dirumuskan formulasinya; (4) otonomi Pemerintahan Daerah lebih menampilkan proses pemerintahan berbiaya tinggi, akibat terjadinya inkonsistensi dari maksud awal dilaksanakannya otonomi daerah karena semua kebijakan pendidikan di daerah diserahkan pada penafsiran sepenuhnya kepada kepala daerah, menjalankan program tidak efisien bahkan kebijakannya menjadikan pemborosan yang luar biasa; (5) ada persepsi sebagian masyarakat sekolah bahwa implementasi MBS adalah penerapan Pakem sebagai pajangan kelas, manajemen sekolah adalah pajangan papan sekolah seperti daftar guru dan berbagai informasi lainnya, dan partisipasi masyarakat adalah pemasangan pagar sekolah; dan (6) pelaksanaan MBS seolah-olah melaksanakan sekolah di luar sistem pemerintahan, karena pemerintahan menganut sistem instruksi, sedangkan MBS adalah pemberdayaan.
Data dan informasi mengenai problem implementasi MBS menegaskan bahwa kondisi objektif yang kita hadapi dalam sistem pemerintahan yang sedang berlangsung adalah (1) pembaruan yang direncanakan dan diimplementasikan secara terpusat sering tidak mampu memperbaiki inti kegiatan sekolah yaitu proses belajar mengajar; (2) sekolah membutuhkan dukungan sumberdaya pendidikan yang ajeg dan konsisten, tetapi pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten tidak mampu memenuhinya; dan (3) setiap sekolah memiliki kekhasan, keunikan, kebolehan, kemampuan dan kebutuhan yang berbeda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Secara konseptual, jika MBS ini diterapkan dengan benar, maka penerapan MBS dapat meningkatkan kinerja sekolah dalam hal kualitas, efektifitas, produktivitas, efisiensi, inovasi dan surplus pendanaan sekolah. Komitmen semua pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) amat diperlukan untuk memenuhi kualitas manajemen sekolah yang efektif dan kompetitif sesuai semangat UUSPN menggunakan sistem pemberdayaan potensi sekolah difasilitasi pemerintah daerah.
PEMBAHASAN
Implementasi MBS dengan benar yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah secara teoritik akan dapat (1) meningkatkan nilai rata-rata hasil belajar melalui test yang standar; (2) angka mengulang siswa menurun; (3) angka drop out menurun; dan (4) angka transisi dari SD ke SMP dan dari SMP ke SLTA terus menerus meningkat. Sesuai UUSPN dan PP No. 19 Tahun 2005 menegaskan bahwa sekolah memiliki kewenangan (1) menyusun kurikulum yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang konsepnya disusun bersama oleh pendidik dan pihak yang terkait; (2) menyusun perencanaan strategis sekolah untuk 4 tahun; (3) menyusun program dan kegiatan berbasis data sekolah yang disusun bersama stakeholders sekolah; (4) memberdayakan potensi masyarakat mendukung manajemen sekolah yang berkualitas; dan (5) budaya dan penataan lingkungan sekolah. Kajian ini akan membahas landasan ilmiah, MBS, landasan yuridis MBS, dan pemberdayaan dan peningkatan mutu pendidikan
Landasan Ilmiah MBS
Konsep “Manajemen Berbasis Sekolah” (MBS) yang dalam bahasa Inggris disebut School-Based Management, pertama kali muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya diawali dengan munculnya pertanyaan masyarakat tentang apa yang dapat diberikan sekolah kepada masyarakat dan juga apa relevansi dan korelasi pendidikan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kinerja sekolah saat itu dianggap oleh masyarakat tidak sesuai tuntutan siswa untuk terjun ke dunia usaha dan sekolah dianggap tidak mampu memberikan hasil dalam konteka kehidupan ekonomi yang kompetitif secara global. Fenomena tersebut oleh pemerintah, pihak sekolah dan masyarakat, segera diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan dan penataan manajemen sekolah (Sagala, 2005:129).
Untuk memenuhi kemampuan kompetitif tersebut, masyarakat-dan pemerintah sepakat melakukan reformasi tehadap manajemen sekolah yang mengacu pada kebutuhan kompetitif. Bertitik tolak dan kondisi dan penataan kembali manajemen sekolah tersebut, dalam konteks pembangunan pendidikan di Indonesia menurut Sagala (2005:129) diperlukan suatu sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan dasar (basic skill) bagi siswa. Penataan sekolah melalui konsep MBS diartikan sebagai wujud dan reformasi pendidikan, di arahkan untuk meredesain dan memodifikasi struktur pemerintah menjadi sekolah yang berkonsep pemberdayaan sekolah.
Fokus pemberdayaan untuk meningkatkan otonomi dan profesionalisme sekolah dan kualitas pendidikan. Gagasan MBS perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya sekolah. Karena implementasi MBS tidak sekedar membawa perubahan kewenangan dalam akademik di sekolah. Tetapi membawa perubahan mendasar dalam hal kebijakan dan orientasi partisipasi orang tua dan masyarakat. Penerapan konsep MBS di Amerika Serikat menurut Edward E. Lawler (1994) ternyata dapat meningkatkan kualitas belajar mengajar. Hal ini disebabkan adanya mekanisme lebih efektif dan lebih cepat dalam pengambilan keputusan, memberikan dorongan semangat kinerja sebagai motivasi berprestasi para kepala sekolah dalam melakukan tugasnya sebagai manajer sekolah.
Suyanto (2001:87) mengemukakan banyak penelitian secara konklusif mendukung rasional efektivitas penggunaan manajemen pendidikan berbasis sekolah. Para peneliti tersebut antara lain: Amundson (1988), Burns dan Howers (1989), David dan Peterson (1984), English (1989), Levine dan Eubank (1989), Lindelow dan Heynderickx (1989), Malen, Ogawa, dan Kranz (1990), Marburger (1985), Majkowski dan Fleming (1989), Peterson (1991), serta White (1989). Berbagai hasil penelitian mereka memberi dukungan bagi diterapkannya MBS. Kemendikbud (2012) menegaskan esensi MBS adalah pemberian otonomi sekolah dan pemberdayaan seluruh sumber daya sekolah dalam rangka peningkatan mutu sekolah. Otonomi sekolah dapat diartikan sebagai pemberian kewenangan yang lebih mandiri pada sekolah mengandung makna swakarsa, swakarya, swadana, swakelola, dan swasembada membedakan satu sekolah dengan sekolah lainnya.
MBS menerapkan manajemen transparansi yaitu kemampuan warga sekolah untuk (1) memperoleh dan mengerti informasi tentang pelayanan sekolah, prosess anggaran dan keputusan biaya; dan (2) memantau atau mengidentifikasikan secara tepat siapa sebenarnya pembuat keputusan serta apa peran mereka dalam pengambilan keputusan. Partisipasi yaitu kemampuan warga sekolah langsung dan tidak langsung untuk mengerti dan bersuara atau mempengaruhi proses pengambilan yang bersifat publik di sekolah. Partisipasi mulai dari tingkat rendah (1) berbagi informasi; (2) konsultasi, lalu ke tingkat yang lebih tinggi; (3) kolaborasi berbgai peran dalam pengambilan keputusan dan sumberdaya; dan (4) pemberdayaan dengan memberikan wewenang untuk mengambil keputusan dan sumberdaya. Kemudian akuntabilitas berarti kewajiban pembuat keputusan dan manajer untuk (1) tanggap atas kebutuhan/hak pengguna jasa pendidikan di sekolah; dan (2) kemampuan pengguna jasa untuk meminta pertanggungjawaban kepada pembuat kebijakan atau manajer atas janji atau keputusan mereka Jadi MBS menekankan manajemen sekolah yang efektif setelah memperoleh kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong keikutsertaan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dalam pengambilan keputusan melalui proses yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
Landasan Yuridis MBS
UUSPN Pasal 51 Ayat (1) menyatakan “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah”. Penegasan ini diperkuat oleh PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 49 menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Prinsip MBS yang terkandung dalam UUSPN dan PP No. 19 Tahun 2005 ini adalah (1) kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas; (2) diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa; dan (3) memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
UUSPN Pasal 48 Ayat (1) menyatakan bahwa, “Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik”. Sejalan dengan amanat tersebut. UUSPN Pasal 50 Ayat (5) menyatakan “Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. UUSPN Pasal 9 menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat diamanatkan dalam bahwa: “Masyarakat berkewajiban untuk memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Sedangkan Pasal 54 Ayat (1) dan (2) “Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”; serta “masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan”. Penegasan pokok dalam UUSPN ini yang perlu difasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah adalah prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, akuntabilitas publik, berbasis keunggulan lokal, dan peranserta masyarakat memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pemberdayaan dan Peningkatan Mutu Pendidikan
Pemberdayaan mendorong peran pemerintah mulai beralih dari “pengambil keputusan”, menjadi fasilitator/pemberdaya proses pengambilan keputusan yang memiliki orientasi multi-pihak. Peninggalan kekuasaan yang bersifat Otoriter tampak pada (1) daya tanggap dan tanggung gugat institusi pemerintah rendah; (2) kepercayaan publik terhadap pemerintah rendah; dan (3) rakyat tidak dilibatkan dalam kepemerintahan. Oleh karena itu masyarakat mulai menuntut bahwa negara dan komunitas mereka sendiri akan lebih baik/harmonis jika pengambilan keputusan dilakukan secara perlahan dan berdasarkan refleksi, dimana kelibatan sebanyak mungkin potensi masyarakat menjadi prioritas utama.
Dalam konsep pemberdayaan ini masyarakat ingin bermitra dengan pemerintah asal “aturan mainnya” lebih seimbang, masyarakat memiliki peran yang jelas, begitu pula pemerintah. Salah satu tantangan yang paling penting di atasi adalah bagaimana membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Karena masyarkat semakin tidak puas dengan pola pemerintahan yang diperankan legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang hanya memperhatikan kelompoknya sendiri. Perasaan diabaikan dan kurang diwakili pada masyarakat menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah rendah.
Lebih dari itu, Check and balancebelum berjalan sebagaimana mestinya, masyarkat hanya dilibatkan sekali lima tahun dalam pemeilihan kepala daerah (PILKADA) dan pemilihan umum legislatif. Pertanyaannya, apakah ini merupakan demokrasi dan pemberdayaan potensi masyarakat?. Masyarakat seharusnya mempunyai peran aktif dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan dan pelayanan yang dilakukan sekolah. Berdasarkan kondisi objektif ini konsep “Masyarakat Madani” lahir. Legislatif dan eksekutif sebagai aktor ke dalam pemerintah berinterkasi dengan sesama aktor pemerintah, dan keluar berinterkasi dengan aktor non-pemerintah atau masyarakat madani (civil society). Fokus pada proses (partisipasi) dan keluaran (pelayanan yang lebih baik) yang berorientasi pada Tata Layanan Publik yang menghubungkan legislatif dan eksekutif dengan masyarakat madani.
Media masa baik cetak maupun elektronik berfungsi untuk mendorong pemerintah memberikan tata layanan yang lebih baik. Fokus pemberdayaan dalam implementasi MBS menurut Sagala (2005) dimaksudkan untuk meningkatkan otonomi dan profesionalisme sekolah yang pada gilirannya menjadi sekolah yang memenuhi kualitas. Berbagai studi secara empirik menunjukkan bahwa penyebab mutu pendidikan tidak meningkat secara merata antara lain (1) kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada out put dan kurang memperhatikan proses pendidikan; (2) penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik dalam sistem otonomi daerah; (3) lemahnya peran serta masyarakat (terutama dalam pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas); dan (4) persyaratan utama pengangkatan kepala sekolah dan pengawas sekolah adalah persyaratan administratif bukan melihat prestasi sebelumnya apakah ia mampu memecahkan berbagai masalah sekolah.
Dalam implementasi MBS Permendiknas No. 19 Tahun 2007 menegaskan ada delapan kategori rencana kerja sekolah yaitu (1) kesiswaan; (2) kurikulum dan kegiatan pembelajaran; (3) pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangannya; (4) sarana dan prasarana; (5) keuangan dan pembiayaan; (6) budaya dan lingkungan sekolah; (7) peran serta masyarakat dan kemitraan; dan (8) rencana kerja lain yang mengarah kepada peningkatan dan pengembangan mutu. Untuk menjamin delapan aspek ini, maka pengelolaan institusi yang dilakukan dengan dan melalui SDM untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
Dua hal yang merupakan inti MBS yaitu fungsi dan aspek dengan memformulasikan visi, misi, dan tujuan organisasi sekolah yang terukur, menegaskan secara jelas tugas dan fungsi seluruh personel sekolah, merancang dan menetapkan struktur organisasi dengan memperjelas hierarkhi otoritas dan kewenangan serta tanggung jawab, dapat dan bersedia melakukan koordinasi, memiliki dan mematuhi aturan dan prosedur serta mekanisme kerja sekolah, dan tampak secara jelas hubungan struktural dan fungsional serta tanggung jawab masing masing. Secara konseptual dan secara aturan bahwa penerapan MBS sudah tidak ada masalah. Adapun masalahnya terletak dari kemauan, kemampuan, komitmen dan integritas penentu utama kebijakan pendidikan.
PENUTUP
Dari berbagai sudut pandang baik landasan ilmiah maupun landasan yuridis yang dikemukakan dalam kajian ini bahwa MBS adalah model pengelolaan sekolah berdasarkan kekhasan, kebolehan, kemampuan dan kebutuhan sekolah. Dengan batasan seperti ini, maka MBS menjamin adanya keberagaman dalam pengelolaan sekolah, tetapi harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional. Dalam implementasi MBS pada dasarnya tidak ada lagi penekanan pada keseragaman dan dijamin adanya keberagaman dalam hal efektifitas dan kualitas manajemen sekolah. Hal penting perlu dipahami bahwa ada tujuh komponen penting dalam implementasi MBS yaitu manajemen, kurikulum dan pembelajaran, peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, sarana prasarana, hubungan masyarakat, pembiayaan, budaya, dan lingkungan sekolah. Atas dasar landasan itu Indonesia, dipandang perlu membangun suatu sistem pendidikan yang mampu memberdayakan seluruh potensi, sehingga mampu pula memberikan kemampuan dasar (basic skill) bagi siswa. Penataan pendidikan melalui konsep pemberdayaan dengan meredesain dan memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan konsep pemberdayaan sekolah melalui konsep manajemen berbasis sekolah. Fokus pemberdayaan dimaksudkan meningkatkan otonomi dan profesionalisme sekolah memenuhi standar nasional pendidikan.
KEPUSTAKAAN
Kemendikbud (2012). Pola pembinaan dan pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah di sekolah dasar (grand design) Buku 1. Jakarta: Kementerian pendidikan dan kebudayaan Direktorat jenderal pendidikan dasar Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar
Presiden RI. (2003). Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Armas duta jaya.
Presiden RI. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia PPRI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Bandung: Fokusmedia
Sagala, H. Syaiful (2005). Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima.
- Nasional dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: Uhamka Press, 2001.
Penulis adalah:
Dosen dan guru besar Universitas Negeri Medan (Unimed), ketua program studi Administrasi Pendidikan Pascasarjana Unimed. Pernah menjadi ketua umum ISMaPI Daerah Sumatera Utara tahun 2005-2009.
Makalah ini disampaikan pada:
Seminar Manajemen Berbasis sekolah (MBS) diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Kemendikbud pada tanggal 30 November 2013 di Hotel Ollino Malang Jawa Timur
Posting oleh mbsadministrator 11 tahun yang lalu - Dibaca 137864 kali
Digitalisasi Percepat Transformasi Layanan Pendidikan
JAKARTA - Sejak pandemi melanda, sekolah-sekolah diliburkan dan kegiatan belajar mengajar dilakukan dari rumah....
KESIAPAN MENGHADAPI PERUBAHAN PADA GURU SEKOLAH DASAR TERHADAP JENIS BUDAYA DAN DUKUNGAN ORGANISASI
Abstract: The study investigates the relation of the readiness for change of an elementary school...